Pertemuan singkat minggu lalu itu masih jelas teringat diingatanku.
Siang itu, di depan loket pengambilan obat bagi pasien peserta jaminan di Rumah Sakit Umum Pusat, saya melihat sesosok perempuan berjilbab panjang dan berkacamata. Tidak ada yang salah dengan penampilannya sampai saya melihat dari dekat kalau mata putihnya itu berwarna agak kekuningan dan kulit wajahnya menghitam, tidak seperti kulit punggung tangannya.
Entah kenapa dari pertama kali saya melihatnya, saya berpikir ada yang berbeda dengannya. Tapi yasudahlah, memang disini tempat berkumpulnya manusia-manusia tidak sehat dari segala penjuru negeri.
Namun secara kebetulan, perempuan itu duduk di sebelahku menggantikan orang sebelumnya. Seperti biasa, saya jarang menyapa orang disebelah saya untuk sekedar basa basi. Tetapi tidak dia. Dia menyapaku lebih dahulu.
Pembicaraan kami pun terus berlanjut mengenai banyak hal. Akhirnya tergoda untukku untuk bertanya penyakit apa yang ia derita. Dengan singkat dan jelas dia menjawab, Lupus. Saya pernah membaca tentang penyakit ini di internet, majalah atau sebagainya. Kebanyakan dari penderita penyakit ini tidak bertahan lama. Tapi tidak dia. Dia sudah mengidap penyakit ini kurang lebih 8 tahun. Masa yang cukup lama untuk mengemban penyakit yang terdengar sangat berat.
Anehnya, selain dari warna kulitnya yang menghitam itu dan matanya berwarna kuning itu, dia tidak tampak seperti orang yang telah menjalani operasi organ berkali-kali. Dia tetap bisa berjalan dengan tegap, datang ke rumah sakit itu sendirian dari domisilinya di Bekasi. Salut.
Menyenangkan sekali berbincang dengan perempuan ini. Semakin jauh perbincangan saya dengan dia, semakin saya menjadi malu. Betul-betul malu. Dia berjuang bertahun-tahun untuk tetap meneruskan hidup dengan biaya seadanya. Sedangkan saya? Sudah alhamdulillah sehat, tapi lebih banyak menyianyiakan hidup daripada memanfaatkannya.
Ada statement yang paling saya ingat, "Kita kadang ngerasa diri kita yang punya penyakit paling parah di keluarga, tapi kalo udah ke sini, masih banyak yang jauh lebih parah dari kita."
"walaupun dokter bilang apapun, tapi saya tetap percaya ada Allah di sisi saya untuk membuat saya tetap bertahan. Penyakit akan semakin menggerogoti kalau kita nyikapinnya dengan negatif. Pertama memang sulit. Tapi saya berfikir, saya harus tetap hidup. Saya bisa bertahan"
"Saya beberapa kali bertemu dengan orang yang memandang saya seperti penyakit yang harus dihindarin. Tapi saya cuma bisa menghela napas dan berfikir positif kalau orang itu pasti gak tau sebenernya penyakit saya tidak menular seperti flu."
"Tempat ini adalah tempat paling baik untuk bermuhasabah diri, mba.. Kita belajar banyak bersabar dan bersyukur bahwa kita masih lebih baik daripada yang lain"
Penyakit lupus ini, yang saya tahu, perlahan tapi pasti menggerogoti organ dalam tubuh kita. Semacam jam pasir yang terus berjalan menunggu waktu eksekusi bertemu dengan-Nya. Dan pertemuan singkat itu jelas-jelas menampar saya tentang kebiasaan jelek saya yang suka mengeluh dan sering lupa bersyukur. Astagfirullohal'adziim...
Namun perempuan ini sungguh luar biasa di mataku. Salah satu pelajaran tentang hidup yang tidak akan pernah saya temui di bangku sekolah.
Omong-omong, perempuan itu bernama Dwi Ratna. Ingin seklai rasanya bertemu sekali lagi dengannya sekedar untuk berbincang. :)